MAKALAH PANCA YADNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Yadnya merupakan pengorbanan yang tulus iklas dan tanpa pamrih
yang dilandasi dengan ketulusan hati yang mulia. Yadnya berasal dari Bahasa
Sansekerta, dari kata “Yaj” yang berarti memuja, dari “Yaj” menjadi “Yajna” artinya
korban suci, jadi Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas yang ditujukan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara garis besar Yadnya dapat
dikelompokan menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yaitu:
1. Dewa Yadnya
2. Rsi Yadnya
3. Pitra Yadnya
4. Manusa Yadnya
5. Bhuta Yadnya
Adanya Panca Yadnya disebabkan karena adabya tiga jenis hutang yang
dimiliki oleh setiap manusia yang disebut Tri Rna. Tri Rna berasal dari kata
Tri yang berarti tiga, dan Rna berarti hutang. Jadi Tri Rna adalah tiga hutang
yang harus dibayar kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan Latar
Belakang diatas dapat kami simpulkan rumusan masalah yang akan kami bahas dalam
makalah ini, yaitu :
1.2.1.
Apa Pengertian Panca Yadnya ?
1.2.2.
Apa Saja Bagian-Bagian Panca Yadnya ?
1.2.3.
Bagaimana Pelaksanaan Panca Yadnya Dalam
Kehidupan Sehari-Hari ?
1.2.4.
Apa Saja Dasar Pelaksanaan Yadnya dan
Dasar Hukum Pelaksanaan Yadnya ?
1.3.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah
ini, yaitu :
1.3.1.
Untuk Mengetahui Pengertian Panca Yadnya
1.3.2.
Untuk Mengetahui Bagian-Bagian Panca
Yadnya
1.3.3.
Untuk Mengetahui Pelaksanaan Panca Yadnya
Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1.3.4.
Untuk Mengetahui Dasar Pelaksanaan Yadnya
dan Dasar Hukum Pelaksanaan Yadnya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Panca Yadnya
Kata Panca Yadnya terdiri dari dua
kata, yaitu kata Panca dan Yadnya. Panca berarti Lima, Yadnya berarti persembahan suci. Kata Yadnya berasal dari Bahasa
Sanskerta dari urat kata Yāj dan
masuk dalam kelas kata maskulinum yang berarti orang yang berkorban.
Jadi Panca Yadnya berarti lima
persembahan suci dengan tulus ikhlas.
Dalam
melaksanakan sebuah Yadnya hendaknya diketahui syarat-syarat Yadnya. Adapun syarat-syarat sebuah yadnya,
meliputi:
a.
Harus
dilandasi dengan keikhlasan yang
disertai kesucian hati,
b.
Didasari
dengan cinta kasih yang diwujudkan
dengan rasa bhakti yang tulus, cinta kepada sesama, cinta kepada binatang dan
cinta kepada lingkungan,
c.
Yang harus dilakukan sesuai kemampuan agar tidak menjadi
beban bgi kita,
d.
Beryadnya harus dilandasi perasaan beryadnya
sebagai sebuah kewajiban.
2.2.
Bagian - Bagian Panca Yadnya
Sebelum
membahas jenis-jenis Panca Yadnya dan penjelasannya, akan dijelaskan terlebih
dahulu latar belakang munculnya Yadnya. Pada setiap manusia yang terlahir ke
dunia ini sudah membawa hutang yang jumlahnya tiga yang disebut Tri Rna. Tentang Tri Rna dimuat
dalam Kitab Manawa Dharmasastra
VI.35, sebagai berikut:
Rinani
trinyapakritya manomok-
Se
niwecayet
Anapakritya
moksam tu sewama-
No
wrajatyadhah
Artinya:
Kalau ia
telah membayar tiga macam hutangnya ( kepada Tuhan, kepada Leluhur dan kepada
Orangtua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk memcapai kebebasan
terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga
macam hutangnya akan tenggelam ke bawah.
Tiga macam
hutang yang dibawa sejak lahir, seperti:
a.
Dewa Rna yaitu
hutang kepada para Dewa/Ida Sang Hyang Widhi karena telah
menciptakan dan memberikan kita hidup,
b.
Pitra Rna yaitu
hutang kepada Leluhur baik yang sudah meninggal maupun orangtua yang masih
hidup. Kita berhutang kepada leluhur karena Beliau telah menghidupi kita,
merawat, mendidik, mengasuh dari sejak dalam kandungan sampai menjadi manusia
dewasa, dan
c.
Rsi Rna yaitu
hutang kepada para Resi pendahulu kita yang telah menerima wahyu Tuhan berupa
Weda sehingga kita memahami ajaran agama maupun kepada para sulinggih yang
telah menyucikan hidup kita.
Karena
adanya hutang inilah dalam ajaran agama Hindu diharapkan dapat dibayar dengan
melaksanakan Panca Yadnya.
Bagian Panca Yadnya terdiri dari Dewa
Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa yadnya dan Bhuta Yadnya.
Maka Dewa Rna dibayar dengan Dewa yadnya dan Bhuta yadnya, Pitra Rna dibayar dengan Pitra yadnya dan Manusa yadnya, terakhir Rsi Yadnya digunakan untuk
membayar Rsi Rna.
Untuk
lebih memahami Tri Rna dan Panca Yadnya, disajikan 2 Pupuh Kumambang seperti di
bawah ini:
Pupuh
Kumambang
1. Teri Rena tetiga utange sami,
Siki Dewa Rena,
Pitra Rena kaping kalih,
Resi Rena nomer tiga.
2. Ngiring taur utange punika sami,
Srana Panca Yadnya,
Ring Dewa Pitara Resi,
Ring Manusa Miwah Bhuta.
Dari pupuh
di atas dapat kita rinci bagian
Panca Yadnya meliputi:
1.
Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah korban suci dengan tulus iklas kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) dengan jalan cinta bakti dan sujud memuja
serta mengikuti segala ajaran-ajaran suci-Nya melakukan Tirta Yatra.
Ketentuan-ketentuan yang harus diketahui dalam melaksanakan Dewa
Yadnya:
a.
Tempatnya di tempat yang
bersih dan memiliki suasana kesucian, misalnya pura.
b.
Adanya Sanggar Surya
sebagai syarat minimal yaitu sebagai pengganti Padma Sana, tempat bertahannya
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c.
Adanya sesajen, haturan
dengan bahan utama yang terdiri dari api, air bersih, buah dan bunga.
Adapun
tata cara melaksanakan Dewa Yadnyaialah:
a.
Pelinggih Ida Hyang Widhi
Wasa diberi upacara penyucian
b.
Memohon dengan pujaan
semoga Sang Hyang Widhi datang dan bersthana di pelinggih itu dipakai puja
upeti
c.
Menghantarkan upacara penyucian
dengan diantar oleh puja sthihi
d.
Sembahyang yang diakhiri
dengan metirta
e.
Upacara penutup disebut
“nyimpen” dengan memakai puja pralina.
2. Pitra Yadnya
Pitra yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlah kepada leluhur dengan
memujakan keselamatannya di akhirat serta selanjutnya memelihara keturunannya
dan menuruti semua tuntunannya .
Ketentuan –ketentuan upacara pitra yadnya. Pitra yadnya dilakukan dengan cara ;
1.Sawa
Prateka
Sawa
Prateka dibagi dalam dua yaitu ;
a.Sawa
Wedana ,didalam mana termasuk Asti Wedana
b.Swasta
2.Atma
Wedana
Sawa Prateka artinya; penyelenggaraan mayat untuk kembali kepada panca
Maha Bhuta [alam semesta ],yaitu ;unsur –unsur air ,api ,tanah ,hawa dan ether
dengan cara dibakar atau dikuburkan .sawa wedana ialah ; Upacara pembakaran
mayat yang masih diketemukan
Asti Wedana ialah ;Upacara setelah mayat menjadi tulang ,abunya yang
kemudian dianyut kesungai atau kelaut .
Swastw ialah ;Upacara pembakaran atas mayat yang tidak dapat
diketemukan .
Atma Wedana artinya ;Upacara mengembalikan atama dari Bhur Loka [bumi ]
dan bhuvah loka [alam] ke svuah loka [sorga atau alam Hyang Widhi].
Pelaksanaannya:
Sawa
Prateka dilakukan dengan jalan:
1.
Mayat dimandikan dengan
air bersih dan terakhir dengan air kumkuman
2.
Segala lubang yang ada
dibadan ditutup, lubang hidung, telinga, mulut, dan lainnya
3.
Digulung dengan kain
putih
4.
Dibakar atau ditanam
Sawa
Wedana yaitu membakar mayat di kubur dengan cara:
1.
Mayat dibakar dengan api
suci
2.
Abunya dipuja dan
kemudian dihanyutkan kesungai atau ke laut
3.
Memakai bahan sesajen
yang terutama terdiri dari api, air suci dan bunga besar
4.
Diantar dengan sembah
oleh sanak keluarga kehadapan Hyang Widhi, dan terakhir bersujud pada Sang
Pitara(Roh Leluhur)
Selain dari pembakaran mayat yang secara Sawa Wedana, ada juga secara
Swata jika mayat tak mungkin ditemukan lagi, upacara ini dilakukan dengan
menggantikan dengan kusa caria(jalinan lalang yang berbentuk badan manusia)
atau dengan toya carira (air suci ditambah dengan bunga-bungaan). Setelah itu
dibakar dengan upacara yang sama dengan Sawa Sedana. Setelah upacara Sawa
Wedana berakhir, maka ada upacara Atma Wedana.
Upacara
Atma Wedana dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Tempatnya dirumah atau di
suatu tempat yang lain yang telah ditentukan
b)
Simbol dari Atma ini
Puspa Carira atau Toya Sarira
c)
Banten terutama terdiri
dari air, api, bunga-bungaan tertentu yang harum
d)
Diantara dengan puja
pralina oleh sulinggih yang diakhiri dengan membakar puspa sarira itu
e)
Sanak keluarga menyembah
ke hadapan Sang Hyang Widhi dan akhirnya kepada Sang Pitara
f)
Abu Puspa Carira di
hanyutkan ke laut atau air sungai yang bermuara ke laut
Pelaksanaan
penguburan mayat itu harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
a)
Jurusan kuburan harus
menghadap matahari terbit dan ke arah gunung setempat
b)
Adapun lubang kuburan
dalamnya minimal satu setengah meter
c)
Sebelum kuburan itu
dipergunakan harus diberi upacara penyucian dan permakluman kepada Sang Hyang
Praja Pati.
Sesudah 12 hari lamanya terjadi kematian itu, maka perlu dibuat sesajen
ala kadarnya upacara ini disebut Ngerorasin.
3. Rsi Yadnya
Rsi Yadnya adalah korban
suci yang tulus iklas untuk kesejahteraan para Rsi serta mengamalkan segala ajarannya.
a)
Menobatkan sulinggih
menjadi orang suci agama
b)
Membangun tempat pemujaan
untuk para Rsi
c)
Menghaturkan punia kepada
Para Rsi
d)
Menaati dan mengamalkan
ajaran-ajaran Para Rsi
e)
Membantu pendidikan agama
bagi calon Sulinggih
Mediksa dan Medwijati artinya disucikan menurut ketentuan dan untuk
tujuan keagamaan umpamanya untuk menjadi pendeta atau sulinggih. Yakni yang
mengandung maksud bahwa dalam hubungan-hubungan niskala ialah agar Roh yang
meninggal itu tidak terikat dengan unsur-unsur keluarga.
Sehubungan dengan Pitra Yadnya, maka disini perlu dipertegas bahwa yang
oaling baik adalah agar mayat itu selambat-lambatnya dapat dibakar dalam 7 hari
setelah meninggal.
Kata Diksa artinya Suci. Kata Dwijati artinya lahir dua kali. Maksudnya
bahwa manusia itu lahir pertama dari perut ibu ke dunia ini. Tetapi agar orang
itu tetap hidup di dalam agama, maka ia perlu dilahirkan untuk kedua kalinya
yaitu dari dunia ke dunia ini yang pernah di Dwijatikan.
Tetapi yang perlu diketahui dan dilaksanakan olehn orang-orang biasa
pada umumnya bahwa untuk menyucikan diri itu cukup dilakukan dengan jalan
Mewinten saja. Orang yang belum disiksa atau didwijati atau mewinten tak berhak
sama sekali mewintenkan orang lain.
4. Bhuta yadnya
Bhuta yadnya ialah korban suci yang tulus ikhas kepada sekalian makhluk
bawahan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan untuk memelihara
kesejahteraan alam semesta
1)
Dengan mengadakan upacara
korban terhadap makhluk yang tak kelihatan serta kekuatan alam semesta yang di
namai mecaru atau tingkatan caru dari yang terkecil sampai yang terbesar ialah
:
a) Saiban/jotan
Upacara bhuta yadnya ini
merupakan tingkatan yang paling sederhana atau nistaning nista, yang di lakukan
setiap hari sehabis menanak nasi. Banten saiban di lakukan dengan beberapa nasi
lengkap dengan lauk pauk seadana, minimal dengan garam putih.
b) Segehan
Upacara bhuta yadnya
jenis segehan ini dapat di lakukan pada hari-hari tertentu yang di sebut dengan
rerainan,misalnya purnama, tilem, kajeng kliwon, anggar kasih, buda cemeng atau
buda wage, tumpek (sabtu kliwon) dan hari-hari suci yang lebih besar lainnya.
c) Catur eka sata
Catur eka sata, yaitu
upacara bhuta yadnya yang dilakukan dengan menggunakan seekor ayam brumbun.
Caru ini sering disebut dengan caru pengruwak. Caru pengruwak, yaitu caru untuk
membuka lahan tempat-tempat suci atau lahan pekarangan.
d) Caru panca sata
Caru panca sata, yaitu
upacara bhuta yadnya yang dilakukan menggunakan lima ekor ayam yang berwarna
warni sesuai dengan tempatnya, seperti ayam yang berwarna putih ditempatkan di
arah timur, warna merah ditempatkan di arah selatan, warna kuning di arah
barat, warna hitam ditempatkan di arah utaradan warna brumbun di tengah.
e) Caru Rsi Ghana
Caru Rsi Ghana, yaitu
upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakanlima ekor ayam brumbun
dan ditambah dengan satu ekor itik.
f) Caru Panca Kelud
Caru panca Kelud yaitu
upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor ayam yang
berwarna warni, seperti Caru Panca Sata ditambah dengan lima ekor binatang,
seperti anjing, kambing, babi, itik, angsa.
g) Caru Tawur Agung
Caru Tawur Agung yaitu
upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor binatang seperti
Caru Panca Kelud ditambah dengan satu ekor kerbau sebagai landasannya. Upacara
ini dilakukan setahun sekali, yaitu pada Tawur Agung Kesanga. Tepatnya pada
tilem sasih kesanga, sehari sebelum hari raya nyepi,untuk menyambut tahun baru
saka
h)
Caru Tabuh Gentuh
Caru Tabuh Gentuh,yaitu
upacara Bhuta Yadnya yang dilakukan dengan menggunakan lima ekor
binatang,ditambah dengan satu ekor kerbau.Upacara ini dilakukan setiap 5 tahun
sekali,pelaksanaannya samadengan upacara Tawur Kesanga
i)
Caru Panca Wali Krama
Caru Panca Wali Krama
yaitu upacara bhuta yadnya yang dilakukan dengan menggunakan 5 ekor binatang
ditambah dengan satu ekor kerbau nyang dilaksanakan di pura Agung Besakih
setiap 10 tahun sekali.
j)
Caru Eka Dasa Rudra
Caru Eka Dasa Rudra
merupakan upacara yadnya yang di lakukan setiap100 sekali di pura Besakih.
2)
Dengan menjaga dan
menyelengrakan kehidupan mahluk antara laian binatang-binatang peliharaan
serta tanaman-tanaman deng sebaik-baiknya
5. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya ialah:Korban suci yang tulus iklas untuk keselamatan
serta kesejahteraanmanusia lainnya.
Cara-caranya
ada bermacam –macam yaitu:
1)
Mengadakan upacara
selamatan pada waktu:
a)
Bayi dalam kandungan atau
Garbha Wedana ( megedong-gedongan)
b)
Bayi baru lahir
c)
Bayi berumur 42 hari (
tutug kambuhan)
d)
Bayi berumur tiga
bulan(nelu bulanin)
e)
Bayi berumur enam
bulan(otonan)
f)
Anak meningkat
dewasa(raja sewala)
g)
Potong gigi(metatah)
h)
Pernikahan
2)
Mengadakan usaha untuk
kemajuan serta kebahagian anak dalam masyarakat antara lain: pendidikan, dan kesehatannya(Dharma
Santana Widhi)
3)
Menolong serta
menghormati sesama umat Hindu, misalnya: menghormati tamu (atiti Karma) serta
menolong orang lain dalam kesusahan serta mengadakan usaha-usaha sosial lainnya
untuk kesejahteraan masyarakat dan Negara(Dana Punya).
Upacara-
Upacara Manusa Yadnya
1) Upacara
Magedong-Gedongan
Upacara pagedong-gedongan ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada saat
kandungan berumur 7 bulan, upacara ini dilaksanakan bertujuan untuk menyucikan
janin dalam kandungan, agar nantinya terlahir anak yang Suputra. Upacara
Pagedong-gedongan ini dilaksanakan setiap terjadinya suatu kehamilan pada si
Ibu.
2) Bayi Lahir
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini
adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
3) Upacara 12 hari
bayi baru lahir
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada
saat puser bayi lepas.
Sarana :
–
Banten penelahan: Beras
kuning, daun dadap.
–
Banten kumara: Hidangan
berupa nasi putih kuning, beberapa jenis kue, buah buahan (pisang
emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
–
Banten labaan: Hidangan/
nasi dengan lauk pauknya.
–
Segehan empat buah dengan
warna merah, putih, kuning, dan hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus
pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara ini
dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana
Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua
(sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
4) Bayi berusia 12
hari
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut
Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya)
demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah
dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang
Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
5) Bayi Berusia 42
hari
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk
pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan
si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
6) Upacara tiga
bulanan
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan
dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten
kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten
kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila
keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan
ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu
kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan
dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan
dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita
atau Pinandita.
7) Otonan ( Bayi
Berusia 210 hari)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan
keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai
kehidupan yang lebih sempurna.
8) Upacara tumbuh
gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara
ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
Sarana :
–
Upacara kecil :
Petinjo kukus dengan telor.
–
Upacara besar :
Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama
dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat Keseluruhan
rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh
seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.
9) Upacara tanggalnya
gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu
pengetahuan.
Sarana :
1. Banten byakala dan sesayut tatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi.
Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat Keseluruhan
rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara dipimpin oleh
keluarga tertua.
Tata
Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10) Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang
baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut
tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki), banten
padedarian.
Waktu
Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putrid
sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan
yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang
menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai
ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
11) Upacara Potong Gigi
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada
diri si manak.
Sarana :
1.
Sajen sorohan dan suci
untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2.
Sajen pabhyakalan
prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya
seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan
permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3.
Sajen peras daksina,
ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4.
Alat pengganjal yang
dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak
rasanya.
5.
Pengurip-urip yang
terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun
sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan
setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi
dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi
dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai
pelaksana langsung).
12) Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri
sebagai suami-istri.
Sarana
1.
Segehan cacahan warna
lima.
2.
Api takep (api yang
dibuat dari serabut kelapa).
3.
Tetabuhan (air tawar,
tuak, arak).
4.
Padengan-dengan/
pekala-kalaan.
5.
Pejati.
6.
Tikar dadakan (tikar
kecil yang dibuat dari pandan).
7.
Pikulan (terdiri dari
cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi
uang).
8.
Bakul.
9.
Pepegatan terdiri dari
dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya
(ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau
wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana
Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata
cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai
mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi
sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki
dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh
mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab
banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting
yaitu :
-
Sebagai upacara suci yang
tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan
dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang
baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
-
Sebagai persaksian secara
lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan
diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab
bersama.
-
Penentuan status kedua
mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis
Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu).
Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin
nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai
Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah
Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai
mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan
dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat
dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan
setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki
berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok
pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh
dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi
(pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat
Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana
Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai
sampai benang tersebut putus.
2.3. Pelaksanaan Panca Yadnya Dalam
Kehidupan Sehari-Hari
Dalam pelaksanaan sebuah Yadnya
tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya dalam melaksanakan satu Yadnya pasti
yadnya yang lain dilaksanakan juga. Contohnya kita melaksanakan Dewa Yadnya
seperti odalan di Pura. Odalan di Pura termasuk Dewa Yadnya. Dalam
rangkaian upacara odalan di Pura diisi juga dengan upacara mecaru. Mecaru
adalah pelaksanaan Bhuta Yadnya.
Jadi dalam
Upacara Dewa Yadnya diisi juga dengan melaksanakan Bhuta
Yadnya. Demikian juga yadnya yang lainnya.
1. Contoh-contoh pelaksanaan Dewa yadnya dalam
kehidupan sehari-hari,seperti:
a.
Melakukan Tri Sandya tiga kali dalam sehari,
b.
Selalu berdoa sebelum melakukan kegiatan,
c.
Memelihara
kebersihan tempat suci,
d.
Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari,
e.
Melaksanakaan persembahyangan pada hari-hari
suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, dll.
2.
Contoh-contoh
pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari:
a.
Berpamitan kepada orangtua kita sebelum
berangkat kemanapun,
b.
Menghormati
orangtua dan melaksanakan perintahnya,
c.
Menuruti
nasehat orangtua,
d.
Membantu dengan suka rela pekerjaan yang
sedang dilakukan oleh orangtua,
e.
Merawat orangtua yang sedang sakit, dll
3.
Contoh-contoh
pelaksanaan Rsi Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
a.
Rajin
belajar,
b.
Belajar
yang tekun,
c.
Menghormati
Guru,
d.
Menuruti
peritah guru,
e.
Mentaati
dan mengamalkan ajarannya,
f.
Memelihara
kesehatan dan kesejahteraan orang suci seperti sulinggih, pemangku, dll.
4.
Contoh-contoh pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya:
a.
Tolong
menolong antar sesama,
b.
Belas kasihan terhadap orang yang
menderita,
c.
Saling menghormati dan menghargai sesama,
d.
Rajin
merawat diri,
e.
Melaksanakan
upacara untuk meningkatkan kesucian diri, seperti; metatah, mewinten, meotonan,
dll.
5.
Contoh-contoh pelaksanaan Bhuta yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
a.
Merawat
dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik,
b.
Merawat
binatang peliharaan dengan baik,
c.
Menjaga
kebersihan lingkungan,
d.
Menyayangi
makhluk lain, dll.
2.4.
Dasar Pelaksanaan Yadnya dan Dasar Hukum Pelaksanaan Yadnya
2.4.1. Dasar-Dasar Pelaksanaan
Yadnya
1.
Berdasarkan pelaksanaan
Dharma
2.
Ada unsur-unsur
pengabdian yang tulus iklas
3.
Kemauan berkorban dengan
tiada mengharapkan pembalasan atau pujian, juga tiada paksaan
4.
Agar diliputi oleh rasa
bakti yang sedalam-dalamnya
5.
Mengandung dasar pikiran
yang suci, rasa cinta, kasih dan sayang
6.
Dapat menentramkan jiwa
7.
Selalu bertujuan untuk
kesejahteraan dan kesentausaan bersama
8.
Dalam pelaksanaanya
selalu ada unsur-unsur kebaikan dan kebijakan
2.4.2. Dasar Hukum Yadnya
Dasar
hukum Yadnya yang terdapat dalam Bhagawadgita III. 12 yang menyebutkan:
Istan bhogan hi wo deva
Dasyante yajna bhawitah
Tair dattan apradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva
sah (Masniwara,97, hal 168)
Terjemahannya
:
Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh
dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan itu yang telah memperoleh kesenangan tanpa
memberi yadnyanya sesungguhnya adalah pencuri.
Jadi, Yadnya apapun yang kita lakukan bersifat jasmaniah atau kebendaan, maupun
rohaniah atau tuntutan jiwa, jika dilakukan dengan penuh keiklasan dan
keyakinan akan dapat membawa kita menuju cita-cita kita, yaitu hidup lahir
batin.
Dalam Brahmana Purana : 20, disebutkan bahwa tujuh kesadaran yang diberikan
okeh Hyang Cista kepada mahluk ialahtidak tamak, memberi, kesetiaan, kebenaran,
ilmu pengetahuan, kesabaran, dan Yadnya.
Dalam Manava Dharmasastra : Buku 122 menyebutkan :
Karmatmanam ca dewanam so, srjatpranimam prabhuh,
Sadhyanam
ca gunam suksmam yajnam caiwa sanatanam.
Terjemahannya:
Tuhan yang menciptakan tingkatan-tingkatan dari pada dewa-dewa, yang memiliki
hidup, dan mempunyai sifat bergerak, juga diciptakan tingkat “sadhya” yang
berbadan halus serta upacara-upacara yang kekal.
Sloka ini menyebutkan bahwa apa yang di alam semesta ini semuanya berasal dari
Tuhan, maka dari itu kita sebagai umat beragama wajib mempersembahkan apa yang
akan kita nikmati.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Simpulan
Berdasarkan pembahasan
diatas dapat kami simpulkan isi makalah ini, sebagai berikut :
Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Secara garis besar Yadnya dapat dikelompokan menjadi
lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yaitu:
1. Dewa Yadnya
2. Rsi Yadnya
3. Pitra Yadnya
4. Manusa Yadnya
5. Bhuta Yadnya
Adanya Panca Yadnya disebabkan karena adabya tiga jenis hutang yang
dimiliki oleh setiap manusia yang disebut Tri Rna. Tri Rna berasal dari kata
Tri yang berarti tiga, dan Rna berarti hutang. Jadi Tri Rna adalah tiga hutang
yang harus dibayar kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dasar-Dasar Pelaksanaan Yadnya, meliputi ; Berdasarkan pelaksanaan Dharma, Ada unsur-unsur pengabdian yang tulus iklas, Kemauan berkorban dengan tiada mengharapkan
pembalasan atau pujian, juga tiada paksaan, Agar
diliputi oleh rasa bakti yang sedalam-dalamnya, Mengandung
dasar pikiran yang suci, rasa cinta, kasih dan saying, Dapat menentramkan jiwa, Selalu bertujuan untuk kesejahteraan dan
kesentausaan bersama, dan Dalam pelaksanaanya selalu ada unsur-unsur
kebaikan dan kebijakan.
Dasar hukum Yadnya yang terdapat dalam Bhagawadgita III. 12 yang
menyebutkan:
Istan bhogan hi wo deva
Dasyante yajna bhawitah
Tair dattan apradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva
sah (Masniwara,97, hal 168)
3.2.Saran
Berdasarkan
uraian diatas hendaknya kita menyadari bahwa nilai sebuah yadnya bukan
ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun bagaimana cara kita belajar untuk iklas,
tulus, penuh kasih sayang dan didasari oleh hati yang suci nirmala dalam
melaksanakan sebuah pengorbanan (yadnya).
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar